Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus berupaya mendorong percepatan investasi di sektor energi baru dan terbarukan (EBT). Salah satunya dengan menerbitkan aturan baru berupa relaksasi ketentuan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada proyek ketenagalistrikan.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No.11 Tahun 2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan rendahnya investasi di sektor EBT selama ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Misalnya karena terhambat aturan TKDN untuk pendanaan proyek pembangkit EBT.
“Nah, maka dari itu kita membahas dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian Maritim dan Investasi, dan Kementerian Hukum dan HAM. Kita menginisiasi adanya salah satu upaya perhitungan dari tingkat komponen dalam negeri ini menjadi tingkat komponen dalam negeri proyek EB-ET (Energi Baru-Energi Terbarukan),” kata Eniya dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (13/8/2024).
Menurut Eniya, Peraturan Menteri ESDM No.11 Tahun 2024 nantinya akan diberlakukan selaras dengan Keputusan Menteri ESDM No. 119 yang akan diterbitkan berikutnya, serta Keputusan Dirjen EBTKE dan Dirjen Ketenagalistrikan.
“Jadi istilahnya adalah TKDN proyek untuk energi baru dan energi terbarukan,” kata dia.
Eniya menjelaskan pada dasarnya peraturan ini masih akan tetap mengacu kepada keputusan dari Kementerian Perindustrian untuk berhitung mengenai TKDN.
“Karena sudah 12 tahun ya TKDN ini dihitung dan semua sudah mengenal. Nah dari sini kita lakukan penambahan, jadi penambahan komponen biaya yang terjadi jika modul-modul surya itu yang sudah diproduksi di dalam pabrik yang mengikuti TKDN Kementerian Perindustrian, lalu disusun menjadi satu sistem,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, peraturan ini dibuat dengan mempertimbangkan, “bahwa untuk mempercepat pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dengan tetap mengutamakan penggunaan produk dalam negeri, perlu dilakukan pengaturan penggunaan produk dalam negeri untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan; bahwa dalam pengaturan penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu disusun nilai minimum tingkat komponen dalam negeri dalam lingkup proyek pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.”
Infrastruktur ketenagalistrikan yang dimaksud yaitu terdiri atas:
a. pembangkit listrik yang berasal dari sumber energi terbarukan;
b. pembangkit listrik yang berasal dari sumber energi tak terbarukan; dan
c. jaringan transmisi, jaringan distribusi, dan gardu induk.
“Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 untuk kepentingan umum, wajib menggunakan Barang dan Jasa Produk Dalam Negeri,” bunyi Pasal 3 ayat 1 Peraturan Menteri ESDM No.11 tahun 2024.
Pada Pasal 4 berbunyi:
(1) Ketentuan penggunaan Barang dan Jasa Produk Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus dicantumkan dalam dokumen pengadaan Barang dan/atau Jasa berupa persyaratan produk dalam negeri yang wajib digunakan.
(2) Pengadaan Barang impor dilakukan dengan syarat sebagai berikut: a. Barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri; b. spesifikasi teknis Barang yang diproduksi di dalam negeri belum memenuhi persyaratan; dan/atau c. jumlah produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan.
(3) Dalam hal jumlah produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, harus dinyatakan oleh pabrikan atau asosiasi.
(4) Persyaratan pengadaan Barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diverifikasi oleh lembaga verifikasi independen.
(5) Biaya yang muncul dalam proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada Pengguna Barang dan Jasa.
Terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), diatur dalam Pasal 8, yang berbunyi:
(1) Produk Dalam Negeri untuk pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan ditentukan berdasarkan besaran komponen dalam negeri pada setiap Barang dan/atau Jasa yang ditunjukkan dengan nilai TKDN.
2) TKDN sebagaimana dimaksud pada ayat (l) terdiri atas: a. TKDN Barang; b. TKDN Jasa; dan c. TKDN gabungan Barang dan Jasa.
(3) Nilai TKDN Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan Nilai TKDN Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dalam lingkup komponen industri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian.
(4) Nilai TKDN gabungan Barang dan Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dalam lingkup Proyek Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan ditentukan berdasarkan perbandingan antara keseluruhan harga komponen dalam negeri untuk Barang ditambah keseluruhan harga komponen dalam negeri untuk Jasa terhadap keseluruhan harga komponen untuk Barang dan Jasa.
(5) Batas minimum nilai TKDN gabungan Barang dan Jasa dalam lingkup Proyek Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.
(6) Dalam penetapan batas minimum nilai TKDN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didasarkan pada nilai TKDN Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
“Besaran batas minimum nilai TKDN gabungan Barang dan Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) dievaluasi oleh Menteri. Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan,” bunyi Pasal 9 ayat 1 dan 2.
Yang tak kalah penting dari regulasi ini tertuang dalam Ketentuan Peralihan yang tercantum dalam Pasal 17. Bagi proyek ketenagalistrikan yang pembiayaannya berasal dari pinjaman luar negeri atau hibah luar negeri, bisa dikecualikan dari Peraturan Menteri ESDM ini, khususnya yang sudah tertuang dalam perjanjian pinjaman luar negeri atau hibah luar negeri.
“Ketentuan kewajiban penggunaan Barang dan/atau Jasa Produk Dalam Negeri untuk Proyek Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang pendanaannya bersumber dari pinjaman luar negeri atau hibah luar negeri, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pinjaman luar negeri atau perjanjian hibah luar negeri,” bunyi Pasal 17 ayat (1).