Arsip foto – Sejumlah Bekantan (Nasalis larvatus) berada di atas dahan pohon mangrove di kawasan ekowisata Sungai Hitam Lestari di Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Selasa (1/10/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/agr
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggaet Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor dalam kerja sama riset untuk mengidentifikasi jenis patogen yang menginfeksi bekantan di habitat asli (in situ) dan di luar habitat asli (ex situ).
Kepala Pusat Riset Veteriner (PRV) Organisasi Riset Kesehatan BRIN Harimurti Nuradji mengatakan kerja sama mengenai kesehatan hewan primata endemik asal Kalimantan ini diperlukan guna menjaga kelestarian dan kesehatan satwa liar di Indonesia.
“Riset pada bekantan ini merupakan langkah awal bidang kesehatan satwa liar di Indonesia. Ke depannya riset-riset sejenis akan diakomodasi untuk riset di berbagai satwa lainnya seperti hewan ternak, dan hewan akuatik,” kata Harimurti dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan kerja sama ini rencananya akan berjalan selama tiga tahun mulai tahun 2024 hingga 2026. Kerja sama ini menurutnya penting sebagai langkah awal pengembangan kegiatan riset kesehatan di bidang satwa liar.
“Ke depannya, lingkup dari perjanjian kerja sama ini akan diperluas sehingga tidak hanya satu satwa saja, namun akan dilihat juga aspek kesehatan maupun dampak atau potensinya kepada manusia,” ungkap Harimurti.
Peneliti Pusat Riset Veteriner BRIN Nanis Nurhidayah mengungkapkan riset tentang bekantan di Indonesia saat ini sangat terbatas jumlahnya. Sebagai satwa ikon Kalimantan yang berstatus terancam punah, dibutuhkan penelitian lebih lanjut guna mendukung kelestariannya.
“Saat ini bekantan tidak hanya berada di habitat alamiahnya di hutan Kalimantan, namun sebagian berada di lokasi penangkaran ex-situ seperti halnya di TSI sehingga komparasi kondisi kesehatan antar populasi tersebut sangat dibutuhkan guna menentukan kebijakan konservasi di tiap-tiap lokasi konservasi,” tuturnya.