Indonesia langsung dihantam dua kabar buruk di awal September 2024. Dua kabar buruk tersebut adalah amblesnya Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini, Senin (2/9/2024) merilis data IHK untuk Agustus 2024. IHK menunjukkan pelandaian dan di bawah ekspektasi konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia.
Secara tahunan (year on year/yoy), IHK masih naik atau mengalami inflasi sebesar 2,12% pada Agustus 2024 atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yang tercatat 2,13%. Secara bulanan (month to month/mtm), IHK turun tercatat mengalami deflasi sebesar 0,03%.
“Deflasi bulan Agustus 2024 lebih rendah dari Juli 2024 dan merupakan deflasi keempat 2024,” kata Pudji Ismartini, Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, dalam rilis BPS, Senin (2/9/2024).
Sementara konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 11 institusi memperkirakan IHK Agustus 2024 diperkirakan stagnan 0%% dibandingkan bulan sebelumnya yang mengalami deflasi 0,18%.
Sedangkan IHK secara tahunan diperkirakan akan naik tipis menjadi 2,15% (yoy) pada Agustus 2024 dan IHK inti diproyeksi sebesar 1,99% yoy.
Deflasi 4 Bulan Berturut-turut, Anomali Besar Bagi RI
Deflasi empat bulan berturut-turut secara bulanan ini pertama kali terjadi sejak 1999 atau 25 tahun terakhir. Artinya, selama Era Reformasi, Indonesia baru mengalami deflasi empat bulan beruntun.
Deflasi empat bulan berturut-turut juga menjadi kekhawatiran tersendiri. Pasalnya, deflasi empat bulan berturut-turut semakin menegaskan sinyal pelemahan daya beli masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak stabil saat ini.
Sebagai catatan, pada 1999 deflasi pernah terjadi dalam delapan bulan beruntun yakni pada Maret (-0,18%), April (-0,68%), Mei (-0,28%), Juni (-0,34%), Juli (-1,05%), Agustus (-0,71%), September (-0,91%), dan Oktober (-0,09%).
Perlu dicatat jika kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu sedang carut-marut karena krisis pada 1997/1998.
Untuk Agustus 2024, penyumbang deflasi terbesar adalah makanan, minuman dan tembakau dengan deflasi 0,52% dan andil deflasi 0,15%.
Secara historis, IHK Indonesia lebih kerap mencatat inflasi dibandingkan deflasi. Catatan deflasi biasanya hanya terjadi sebulan kemudian diikuti dengan inflasi pada bulan berikutnya.
Deflasi juga cuma terjadi pada periode-periode tertentu seperti pasca Lebaran Idul Fitri. Dengan berdasar catatan historis itu pula maka deflasi dua bulan, tiga bulan, apalagi empat bulan beruntun adalah hal yang sangat langka. Kondisi anomali deflasi tiga bulan beruntun hanya terjadi tiga kali selama 38 tahun terakhir yakni pada 1999, 2020, dan tahun ini.
Deflasi empat bulan berturut-turut dalam sejarah panjang Indonesia hanya terjadi dua kali dalam kurun waktu 45 tahun (1979-2024) yakni pada 1999 dan tahun ini. Anomali besar ini jelas memunculkan tanda tanya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan selalu mengingatkan akan bahaya inflasi karena laju inflasi pada 2022 hingga 2023. Namun justru kondisi yang ada saat ini muncul deflasi dan hingga saat ini, Jokowi belum memberikan pernyataan soal deflasi empat bulan berturut-turut ini.
Menanggapi hal ini, Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang menyampaikan bahwa selama lima tahun terakhir, deflasi sebagian besar disebabkan oleh penurunan harga makanan yang volatil.
Terlihat deflasi yang terjadi sejak Mei-Agustus 2024 menunjukkan tingkat harga barang bergejolak terpantau juga mengalami deflasi.
Begitu pula ketika terjadi deflasi pada Agustus 2023, barang bergejolak pun mengalami kontraksi.
Periode Februari, Agustus, dan Oktober 2022 juga terpantau hal yang sama yakni deflasi headline dan barang bergejolak.
Juni dan September 2021 juga tercatat mengalami deflasi pada sisi headline maupun barang bergejolak.