Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Topo Santoso, SH, MH meminta agar pengusaha Mardani H Maming segera dibebaskan karena adanya kekhilafan hakim.
Akademisi yang juga menjabat sebagai Tim Asistensi Penyusunan Rancangan UU Pemberantasan Tipikor dan RUU KUHP Nasional ini menyatakan ada beberapa hal yang menunjukkan kekeliruan hakim yang mengadili Mardani H Maming.
“Putusan pengadilan atas Mardani H Maming dengan jelas memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan nyata. Unsur menerima hadiah dari pasal yang didakwakan tidak terpenuhi karena perbuatan hukum dalam proses bisnis seperti fee, dividen, dan utang piutang merupakan hubungan keperdataan yang tidak bisa ditarik dalam ranah pidana,” katanya dalam keterangan tertulis dikutip Minggu (20/10/2024).
Apalagi, lanjutnya, ada putusan Pengadilan Niaga yang menegaskan adanya perjanjian/utang piutang. Hal mana menunjukkan hubungan keperdataan, oleh karena hubungan keperdataan tersebut telah dinyatakan dalam sidang Pengadilan Niaga yang terbuka untuk umum, maka tidak mungkin terdapat kesepakatan diam-diam.
Tidak adanya kesepakatan diam-diam membuktikan tidak ada hubungan sebab akibat antara keputusan terdakwa selaku Bupati dengan penerimaan fee atau dividen.
“Sehingga tidak terdapat niat jahat (mens rea) pada perbuatan terdakwa. Dengan demikian, Mardani H Maming harus dinyatakan bebas,” kata akademisi yang juga menjadi pengajar pendidikan calon Hakim Tipikor di Mahkamah Agung ini.
Pekan lalu, dalam acara diskusi buku berjudul “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming” yang diadakan di Yogyakarta, beberapa pakar menguatkan pendapat itu. Di antaranya adalah Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH, M.Hum, serta Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, yang memberikan analisis mendalam yang menggarisbawahi kekhilafan dalam putusan ini.
Prof. Dr. Yos Johan Utama yang pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Diponegoro periode 2019-2024, juga menyoroti kekhilafan dalam putusan pemidanaan tersebut. Ia menyatakan, bahwa keputusan Mardani H. Maming selaku Bupati terkait pemindahan IUP dari aspek hukum administrasi adalah sah dan tidak pernah dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang merupakan pengadilan berwenang dalam ranah hukum administrasi.
“Pengadilan Tipikor, yang merupakan pengadilan pidana, tidak memiliki wewenang untuk menilai keabsahan keputusan administrasi tersebut. Oleh karena itu, tidak ada pelanggaran hukum administrasi yang bisa dijadikan dasar pidana, dan terdakwa tidak bisa dipidana. Selain itu, Pasal 93 ayat 1 UU 4/2009 tentang Pertambangan Minerba mengatur larangan kepada pemegang IUP sebagai pihak swasta, bukan kepada Bupati, sehingga Mardani H. Maming tidak dapat dipersalahkan,” jelas Prof. Yos.
Sementara itu, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LLM., Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran sekaligus Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembentukan KPK, menyatakan terdapat delapan kekeliruan serius dalam penanganan perkara Mardani H. Maming. Ia menegaskan bahwa tuntutan dan putusan pemidanaan tidak didasarkan pada fakta hukum, melainkan lebih didasarkan pada imajinasi penegak hukum.
“Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius,” tegas Prof. Romli.